Level Syari’at

Post a Comment
Konten [Tampil]

Dalam Islam, dikenal adanya ilmu fiqih. Ilmu fiqih merupakan bagian dari tiga ilmu utama dalam Islam: ilmu aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam ilmu syari’ah, ada tingkatan (level): syari’ah dan fiqih. Syari’ah adalah ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits. Tidak peduli manusia suka atau tidak, mau menerima atau tidak, begitu aturannya. Sedangkan fiqih adalah penafsiran ulama terhadap dalil yang ada. Maka fiqih ini dapat berubah sesuai zaman, tempat, dan kondisi sosial masyarakat. Adakalanya terdapat perbedaan penafsiran antara ulama yang satu dengan ulama yang lain, sehingga menimbulkan berbagai macam mahdzab, hal ini terjadi dalam tingkatan fiqih.


Syari’ah adalah ketetapan Allah, salah satunya disebutkan dalam Q.S Al Baqoroh ayat 183 bahwa setiap muslim diwajibkan berpuasa. Perkara ada orang muslim sendiri tidak percaya atas kewajiban tersebut, maka masuk wilayah Aqidah. Sedangkan bagaimana seharusnya seorang muslim berpuasa, tata cara, rukun dan syaratnya, maka ada di wilayah syari’ah, secara lebih khusus dibahas dalam ilmu fiqih.

Perbedaan syari’ah dan fiqih secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: secara syari’at, seorang muslimah diwajibkan menutup aurat seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Bagaimana seorang menutup aurat, apakah harus dengan gamis dan kerudung, menggunakan cadar, baju kurung, atau cukup dengan baju panjang ditambah kerudung adalah urusan fiqih.

Kita mungkin pernah mendengar atau membaca hadits, bahwa Rasulullah memerintahkan jamaah sahabat dalam sebuah majelis untuk mengambil air wudhu setelah mereka memakan unta bersama-sama. Apakah ini berarti kita harus wudhu setiap kali selesai makan daging unta? Bagaimana dengan daging sapi, atau daging yang lain? Hadits tersebut adalah wilayah syari’at. Sedangkan dalam ilmu fiqih bisa dipelajari mengapa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk berwudhu?


Dalam asbabul wurud disebutkan bahwa sebelum Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk berwudhu, mereka diributkan dengan bau kentut. Ya, tentu saja bau kentut tersebut  bisa mengganggu kenyamanan majelis. Maka para hadirin itu sibuk mempertanyakan siapa yang menjadi sumber bau tidak sedap tersebut. Karena tidak ada yang mengaku, untuk menutupi malu salah seorang sahabat itulah Rasulullah memerintahkan supaya seluruh jamaah mengambil wudhu. Pembahasan harus atau tidaknya jamaah (dan umat Islam pada umumnya) untuk mengambil wudhu setelah makan daging unta, ada di wilayah fiqih. Sedangkan sebab Rasulullah memerintahkan demikian, adalah contoh akhlaq Rasulullah memuliakan para sahabat yang dicintainya.

Fiqih dalam Islam dibagi dalam dua jenis: Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah. Fiqih ibadah mengatur tentang ibadah, sedangkan fiqih muamalah mengatur tentang interaksi sosial dan transaksi antar manusia. Beberapa perbedaan dasar antara fiqih ibadah dan fiqih muamalah adalah:

1. Kaidah asal fiqih ibadah: Al Ashlu fil ibadah at tahriim. Segala sesuatu dalam ibadah, hukum asalnya adalah terlarang (haram), lanjutan kaidah ini adalah: kecuali apa yang diatur dan diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Maka ketika terjadi hal-hal tambahan dalam ibadah, disebut bid’ah. Kullu biati’in ad dholaalah, wa kullu dholalatin fin naar, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka. Inilah mengapa dalam ibadah, segala sesuatu harus sesuai dengan aturan Allah dan RasulNya, kita sebagai muslim dilarang untuk menambah ritual diluar ketetapanNya.

Sedangkan dalam muamalah, kaidah fiqihnya: Al ashlu fil muamalati al ibaahah. Pada dasarnya hukum asal muamalah adalah mubah (kecuali ada hal-hal yang diharamkan). Perbedaan kaidah fiqih inilah yang mendasari pengelompokan ilmu fiqih menjadi dua: Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah. Semua hal yang ada dalam perkara muamalah, adalah boleh. Maka dalam urusan muamalah, kita tidak perlu mencari dalil ”apakah Rasulullah pernah melakukan”, karena kita hanya perlu mencari dalil “apakah Allah dan RasulNya melarang/tidak”.

2. Rukun niat. Dalam ibadah, niat selalu menjadi rukun pertama yang harus dilaksanakan. Tanpa niat, ibadah dinilai tidak sah. Allah menilai kadar ibadah seseorang berdasarkan kemurnian niat. Orang mencuci tangan, wajah dan kaki maka disebut mencuci tangan, wajah, dan kaki. Namun jika diawali dengan niat berwudhu, maka kegiatan mencuci tangan, wajah dan kaki disebut wudhu, membersihkan diri dari hadats dan najis. Orang berlari dari shafa ke marwah bisa disebut jogging, tapi dengan niat melaksanakan salah satu rukun haji, dengan hitungan tertentu dari shafa ke marwa atau sebaliknya, maka lari-lari kecil tersebut dinamakan sa’i. betapa pentingnya niat, menjadi landasan dalam ibadah. Niat menjadi rukun pertama, landasan sah atau tidaknya ibadah.

Dalam Q.S Al Hajj ayat 37 disebutkan bahwa daging Qurban dan darahnya tidak akan sampai kepada Allah, karena yanga kan sampai kepada Allah adalah niat , ketaqwaan, alasan dan tujuan bisa mempengaruhi sebesar apa pahala dan rezeki  yang Allah siapkan kemudian. Dimanakah letak ketaqwaan? Taqwa ada di dalam hati, terpancar dalam perbuatan dan keputusan.

Di sisi lain kita tidak bisa menjadikan niat sebagai sebab sah atau tidaknya jual beli, sewa menyewa, atau pinjam meminjam barang, karena beberapa kegiatan tersebut masuk dalam pembahasan fiqih muamalah. Menurut para ulama’, ada atau tidak adanya niat tidak mempengaruhi keabsahan perkara muamalah. Jual beli tetap bisa dilaksanakan tanpa niat, dan hal ini sah. Begitu juga dengan perkara lain dalam muamalah.

Level syari’at yang telah dibahas dalam ilmu fiqih menunjukkan dua hal: syari’ah dan fiqih. Hal-hal yang paling menonjol dari perbedaan level syari'ah tersebut adalah tentang hukum haram. Berdasarkan level pembagian tersebut, haram digolongkan menjadi haram syar’iyah dan haran fiqhiyah. Haram syar’iyah berarti haram berdasarkan dalil. Sedangkan haran fiqhiyah berarti haram berdasarkan penafsiran para ulama fiqih.

Dalam perkara yang diharamkan secara syari'at, maka kita tidak bisa menggugat. Haram tetap haram, wajib tetaplah wajb. Namun dalam perkara yang haram menurut fiqih sedangkan madzhab yang lain mengatakan wajib dalam suatu hal dan madzhab yang lain mengatakan sebaliknya, hal ini masih bisa dikompromisasi berdasarkan dalil yang ada.

Kehidupan kita sehari-hari tentu tidak hanya berwarna hitam-putih, tidak semua hal yang kita hadapi sehari-hari dengan mudah dihukumi haram-halal, wajib-sunnah, makruh-mubah. Seperti ketika kita paham bahwa renang adalah salah satu olah raga sunnah. Namun di sekitar tempat tinggal kita, kolam renang yang dapat dijadikan tempat “melaksanakan sunnah” tersebut dipenuhi dengan orang-orang berpakaian bikini. Jika demikian, masihkah kita bisa “memaksakan” menjemput pahala sunnah?

Demikian, semoga bisa dipahami.


Tulisan ini hanyalah ringkasan singkat dari kajian Ust. Adiwarman Karim. 

Related Posts

Post a Comment