Khilafiyah Hukum E Money

3 comments
Konten [Tampil]



Saat ini kita berada pada zaman milenial, dimana manusia ingin hidup serba praktis. Kertas tidak banyak dipergunakan (paperless), termasuk uang. Belanja kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan sekunder dan tersier dapat dilakukan secara onine, tinggal pesan, bayar via transfer, barang dikirim. Kepraktisan ini berpengaruh juga pada bentuk uang, yang berubah dari logam dan kertas menjadi kartu. Bahkan saat ini, sudah ada uang yang tanpa kartu, hanya berbentuk akun virtual dengan akun dan kode privasi dan hanya dapat digunakan oleh pemiliknya.

Sementara itu sebagai muslim, setiap hal dalam hidupnya harus mempertimbangkan aspek legalitas hukum islam. Baik dalam urusan pribadi dengan Allah, maupun urusan dengan sesama manusia yang disebut dengan muamalah. Dalam pembahasan fiqih muamalah, terdapat satu kaidah dasar yang harus dipahami. Yaitu bahwa: Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha, yang artinya “Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Maka dalam perkara muamalah, adalah lebih mudah “membolehkan” daripada “mengharamkan”.

Kaidah dalam fiqih muamalah berbeda dengan kaidah dasar fiqih ibadah. Dalam fiqih ibadah berlaku: الأصل في العبادة الحظر, فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله و رسوله yang artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” Sehingga dalam ibadah, lebih mudah mengharamkan daripada menghalalkan, karena untuk menghalalkan butuh modal dalil yang kuat dan shahih



Dengan demikian semua transaksi dalam kegiatan muamalah pada dasarnya adalah boleh,kecuali jika ada dalil yang melarang. Terkait hal tersebut, bagaimana dengan hukum e-money?

Ada dua jenis E Money yang beredar luas dan dapat dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat saat ini. Yaitu uang elektronik (E Money) berbasis kartu, dan uang elektronik tanpa kartu. Untuk uang elektronik berbasis kartu, banyak merk sudah diterbitkan oleh bank, diantaranya: BRIZZI dari BRI, FLAZZ dari BCA, E Money dari Mandiri, Tapcash dari BNI. Sementara itu, dari bank Syariah ada Tapcash IB Hasanah dari BNI Syariah. Kartu ini bisa dimanfaatkan untuk pembayaran transaksi di merchant yang menjalin kerjasama dengan bank terkait. Di Jakarta, penggunakan uang elektronik berbasis kartu hampir menjadi kebutuhan pokok, karena hampir seluruh moda transportasi terintegrasi dan pembayaran tiket harus dilakukan menggunakan kartu. Sementara untuk luar Jakarta, kartu ini berfungsi sebagai alat pembayaran di gerbang tol. Tanpa kartu dan saldo yang cukup, pengemudi tidak diizinkan masuk tol.

Selain itu, ada uang elektronik tanpa basis kartu. Kita mengenalnya sebagai saldo OVO, GoPay, Paytren, dan sebagainya. Uang jenis ini dapat digunakan untuk membayar jasa ojek online, pembelian makanan, dan yang paling menarik: terdapat banyak promo dan diskon yang ditawarkan. Uang elektronik jenis ini diterbitkan dan dikelola oleh perusahaan fintech.

Di Indonesia, banyak tulisan ustadz, ulama, atau pakar hukum islam membahas tentang hukum uang elektronik. Sebagian menyatakan haram, dengan alasan khawatir terdapatnya riba dalam transaksi menggunakan uang elektronik. Sebagian lagi menyatakan halal. Perbedaan pendapat ini berdasar pada perbedaan sudut pandang mengidentifikasi pola transaksi dan akad yang digunakan.

Mereka yang berpendapat haram pada uang elektronik, menilai bahwa transaksi menggunakan uang elektronik menggunakan akad pinjaman, sehingga alurnya nasabah (pengguna) meminjamkan sejumlah uang di bank, kemudian bank mengubah bentuknya menjadi saldo elektronik, dan pengguna dapat memanfaatkan saldo tersebut. Kasusnya menjadi rumit ketika ada merchant yang menawarkan diskon atau promo jika pembayaran dilakukan dengan uang elektronik. Diskon atau bonus promo yang ditawarkan oleh merchant dinilai sebagai “aliran manfaat” kepada pemberi pinjaman (disini diperankan oleh pengguna), sedangkan aliran manfaat dalam akad pinjaman atau utang adalah termasuk dalam riba.

Jika kita lebih realistis, benarkah akad yang berlaku demikian? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk uang elektronik berbasis kartu, pengguna menyerahkan sejumlah uang kepada bank (atau perusahan fintech) untuk diubah ke dalam saldo uang elektronik setara jumlah yang diserahkan tersebut. Apakah ini dapat diartikan pengguna meminjamkan uang kepada bank? Sementara dia langsung mendapat saldo setara uang yang diberikannya kepada bank dan dapat dimanfaatkan sesuai keinginannya.

Untuk uang elektronik berbasis kartu di bank Syariah (milik BNI Syariah), dari penelitian seorang mahasiswa UIN Raniry di BNI Syariah Aceh menunjukkan dalam laporannya, bahwa kartu ini menggunakan akad Sharf atau pertukaran uang dengan uang. Artinya, selama dalam transaksi pertukaran tersebut harus memenuhi beberapa syarat: هاء وهاء saling serah مثلا بمثل sejenis سواء بسواء setara يدا بيد kontan عينا بعين sebarang كيلا بكيل setakaran وزنا بوزن sepola setimbang, agar tidak mengandung riba. Dengan kata lain, penggunaan akad ini tidak memperbolehkan adanya diskon, promo dan sejenisnya. Oleh karena itu, penggunaan produk kartu uang elektronik dari bank Syariah halal namun sampai saat ini masih sangat terbatas.

Bagaimana dengan mereka yang menghalalkan uang elektronik? Suatu masalah yang dipandang dari sudut berbeda, akan menghasilkan perspektif yang berbeda pula. Mereka yang menghalalkan transaksi menggunakan uang elektronik tidak menilai saldo dalam uang elektronik tersebut dengan akad pinjaman. Penggunaan akad sharf yang sudah diterbitkan oleh salah satu Bank Syariah di Indonesia ini pun dianggap kurang fleksibel, karena keterbatasan akses dalam implementasinya. Akad yang lebih tepat digunakan untuk transaksi uang elektronik baik berbasis kartu maupun akun fintech, adalah akad bai’ manfaat.

Konsekuensi dari akad bai’ manfaat atau jual beli manfaat ini adalah sama persis dengan ketika kita membeli pulsa. Harga pulsa bisa jadi lebih mahal atau sama dengan saldo yang kita peroleh. Ketika operator jaringan menawarkan sejumlah promo, tetap dapat kita gunakan secara bebas karena secara hukum, saldo tersebut telah kita “beli”. Mekanisme ini sama persis dan bisa diterapkan pada transaksi uang elektronik. Baik berbasis kartu maupun tidak, saldo yang terdapat dalam kartu atau akun kita hakikatnya adalah “milik kita”, bank penerbit atau perusahan fintech tidak dapat menggunakan saldo tersebut tanpa izin pemilik dan harus sesuai dengan pemakaian yang dikontrol langsung oleh pemiliknya.

Karena sampai saat ini lebih banyak penerbit uang elektronik adalah bank konvensional atau perusahaan fintech yang non Syariah (kecuali paytren, kabarnya sudah memiliki sertifikat Syariah compliance), maka kita bebas menganggap akad apa yang kita gunakan dalam transaksi uang elektronik tersebut. Akad yang paling mudah diimplementasikan dalam hal ini adalah akad bai’ al manfaat atau jual beli manfaat. Lagipula, mudahkah bagi kita untuk menghidari penggunaan uang elektronik saat ini? Secara pribadi, saya hanya menggunakan seperlunya, bukan untuk berburu diskon dan kode promo.

Related Posts

3 comments

  1. Waduh de, aku juga suka dapat gibe away gopay je. Gimana kalau begitu? Kesimpulannya, halal nggak? Efek bacane disambi yang lain

    ReplyDelete
  2. baca dulu pelan-pelan, mbak...hehe

    ReplyDelete
  3. Memang kak yang namanya masalah uang itu kita harus berhati-hati supaya tidak terjerumus pada riba. Umar bin khattab mengatakan, "tidaklah boleh berjualan di pasar, orang yang belum memahami syariat muamalah (termasuk tentang riba)."

    ReplyDelete

Post a Comment