Prinsip Syariah dalam Muamalah: Semua Boleh, Kecuali yang Dilarang

Post a Comment
Konten [Tampil]
prinsip-syariah-dalam-muamalah


Secara prinsip syariah dalam muamalah, semua transaksi adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya. Maka menjadi wajib bagi kita untuk mempelajari dan memahami apa saja transaksi yang dilarang dalam muamalah.

Dalam Islam, sesuatu yang dilarang memilki alasan logis dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun meski tanpa pembuktian sekalipun, sebagai orang yang beriman setiap muslim hendaknya tidak melanggar larangan ketika dalil sudah dimaktub.

Penyebab Transaksi yang Dilarang

Karena hakikat iman adalah: yakin, percaya. Allah perintahkan, kita laksanakan. Allah larang, jangan dilanggar. Sesederhana itulah iman saat menaati prinsip syariah dalam muamalah dan ibadah. Mengenai transaksi yang dilarang, atau haram, dapat disebabkan oleh 3 hal:

1. Haram karena zatnya

Transaksi ini dilarang karena zat/obyek/barang atau jasa yang di-transaksikan haram. Misalnya, barang yang haram dikonsumsi: daging babi, minuman keras, binatang yang disembelih bukan atas nama Allah-kecuali binatang laut dan belalang yang bangkainya pun halal.

Baca juga: Daily Trading Saham Syariah, Boleh Nggak Sih? - Hijrah Finansial

2. Haram selain zatnya

Terdapat delapan sebab transaksi menjadi haram bukan karena zatnya:

a. Tadlis. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai assymetric information atau unknown to one party. Yaitu suatu keadaan dimana salah satu pihak merasa dicurangi akibat ketidaktahuannya tentang barang yang ditransaksikan. Hal ini mengakibatkan ketidakrelaan salah satu pihak, sehingga transaksi tersebut tidak bisa dibenarkan secara fikih.

b. Taghrir (gharar). yaitu suatu keadaan dimana terdapat ketidakpastian dari kedua pihak yang bertransaksi. Ketidakpastian tersebut seharusnya bersifat pasti, seperti: harga, jumlah barang, waktu serah terima, dan sebagainya. Jika sesuatu yang harusnya pasti menjadi tidak pasti maka disebut gharar dan tidak dibenarkan secara fikih.

c. Ihtikar, dalam bahasa ekonomi disebut sebagai upaya rekayasa pasar dari sisi penawaran. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menimbun barang dan melepasnya ketika harga sudah naik, menahan barang sebelum masuk pasar agar dia menjadi pemain tunggal barang tertentu, atau mengurangi supply agar harga barang naik.

Baca juga: Menanggapi Pertanyaan Tentang Kehalalan Uang di Bank Syariah - Hijrah Finansial

d. Bai’ najasy. Adalah rekayasa pasar dari sisi permintaan. Misalnya dengan cara membeli barang tertentu, saham, valas, menebar isu, atau melakukan order pembelian dalam jumlah banyak agar harga barang tersebut naik. Setelah harga naik, ia melepas kembali barangnya ke pasar dan mendapat keuntungan.

e. Riba. Yaitu kelebihan atau tambahan yang diperoleh dari transaksi dengan cara dzolim. Riba ini ada dua macam, yaitu riba dalam pinjaman (riba qordh) dan riba dalam jual beli.

Riba dalam pinjaman terjadi ketika peminjam diwajibkan mengembalikan pinjaman lebih dari jumlah yang dipinjam. Berapapun nominal yang dipinjamkan menjanjikan pengembalian lebih, atau meskipun kelebihan itu tidak berupa nominal (misalnya melalui pemberian barang atau lainnya) bisa dianggap riba.

Tambahan dalam pengembalian pinjaman/utang yang disyaratkan tersebut muncul sebagai keuntungan tanpa adanya risiko yang harus ditanggung pemberi pinjaman, hasil usaha yang muncul tanpa adanya beban biaya, dan timbul hanya karena berjalannya waktu.

Riba semacam ini dapat ditemui dalam bunga kredit, deposito, tabungan, dan lain-lain dalam serangkaian produk lembaga keuangan konvensional. Mengenakan bunga dalam pinjaman adalah haram karena memastikan keuntungan di awal, padahal keuntungan dalam usaha adalah sesuatu yang belum pasti.

Baca juga: Inilah Kriteria Utang Halal Untuk Mengatasi Masalah Tanpa Masalah - Hijrah Finansial

Sedangkan riba dalam jual beli dapat terjadi akibat pertukaran barang ribawi namun tidak memenuhi kriteria: sama kualitas, sama kuantitas, dan dilakukan secara tunai. Transaksi semacam ini menimbulkan ketidakjelasan yang dapat merugikan salah satu pihak, kedua pihak, atau pihak lain yang terlibat transaksi.

Ingin terhindar dari utang? Baca ini: 5 Tips Agar Terhindar dari Utang (aprilhatni.com)

f. Maysir (perjudian), sederhananya, perjudian adalah permainan yang mengharuskan salah satu atau beberapa pemain menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut. Maka dalam sebuah pertandaingan atau lomba, dana yang dikumpulkan dari peserta tidak boleh dialokasikan sebagai biaya hadiah atau bonus yang hanya diterima oleh sebagian peserta.

g. Risywah (suap-menyuap), yaitu memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.

h. Zhalim, adalah antonim dari kata adil. Maka setiap transaksi yang menimbulkan ketidakadilan, adanya ihak yang tersakiti atau dirugikan, tidak dapat dibenarkan secara fikih.

1. Haram karena cacat/tidak lengkap akadnya.

Suatu transaksi dikatakan cacat/tidak lengkap akadnya jika: rukun dan syarat tidak terpenuhi, ta’alluq (terjadi multi akad dalam satu transaksi yang tidak dibenarkan secara syari’at), atau terjadi dua akad jual beli dalam satu transaksi.

Ketika suatu transaksi tidak “menabrak” satu pun poin larangan di atas, dapat dikategorikan sebagai transaksi halal. Sementara jika ada satu poin laarangan saja yang teridentifikasi dalam sebuah transaksi, maka transaksi tersebut dapat dikategorikan haram.

Poin larangan prinsip syariah dalam muamalah tersebut harus dipahami oleh setiap muslim agar bisa beramal sesuai dengan ilmu syariat. Karena manusia lebih banyak bermuamalah daripada beribadah. Dengan demikian, saat bermuamalah seorang muslim hanya perlu mengidentifikasi ada/tidaknya larangan yang dilanggar.

Bacaan tentang keuangan dan tips lainnya juga tersedia di sini

Related Posts

Post a Comment